Oleh Gading Ekapuja Aurizki*
“Rakyat yang baik akan memiliki pemimpin yang baik. Kaum Muslimin disibukkan menumpuk harta, bermegah-megahan, hingga bagi mereka pun pemimpin yang lalim. Kelak, suatu masa, jika setiap orang kembali kepada Tuhan dan Nabi-Nya dalam berhukum, seorang pemimpin sholeh pasti naik takhta.” (Syaikh Azadi kepada Syaikh Habiburrahman – Takhta Awan h. 361-362)
Ketika membaca novel
Takhta Awan sampai bagian ini saya jadi teringat percakapan Ali bin Abi Thalib
ra. dengan seorang lelaki ketika beliau masih menjabat sebagai khalifah.
Pada suatu hari lelaki
tersebut berkata kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, “Wahai Ali, ketika Abu
Bakar dan Umar –radhiyallahu 'anhum-
memerintah kondisi Umat Muslim sejahtera, sedangkan pada masamu Umat Muslim
penuh problema.” Dengan tenang Ali ra. menjawab, “Itu karena pada masa Abu
Bakar dan Umar rakyatnya seperti aku, sedangkan pada masaku rakyatnya seperti
kamu.”
Dari sini kita disadarkan
bahwa unsur negara itu tidak hanya pemimpin (pemerintah) saja. Tidak akan
selesai masalah suatu negara jika yang diungkit hanya ketidakbecusan pemerintah
dalam mensejahterakan rakyatnya. Harus ada gerakan yang komprehensif yang
tersebar di segala penjuru untuk memperbaiki berbagai unsur yang ada; ekonomi,
politik, hukum, pendidikan, sosial, kesehatan, dan lain sebagainya.
Dalam bidang hubungan
pemerintah dengan rakyat, setidaknya ada 3 unsur penting yang harus
diperhatikan; pemimpin (pemerintah),
rakyat, dan hukum (peraturan dan kebijakan). Bukannya menafikkan unsur yang
lain, tapi 3 hal tersebut merupakan pondasi utama berlangsung harmoninya
internal suatu negara. Jika hubungan antara 3 ranah itu bermasalah, seunggul
apapun bidang lainnya negara tetap tidak akan bisa memberikan jaminan masa
depan yang cerah bagi rakyatnya.
Oleh karenanya, selain melakukan
kritik terhadap pemerintah, kita juga perlu mengevaluasi kondisi masyarakat.
Mengapa harus dievaluasi? Karena pada kenyataanya masih banyak rakyat yang
enggan mentas dari problem pribadinya. Mereka hanya menunggu keberuntungan
turun dari langit. Jika keberuntungan itu tak datang jua, berbusa-busa mereka
menghujat pemerintah di warung-warung dan di posko-posko ronda.
Mungkin ada diantara kita
yang menyela, “Lho, itu kan tugas pemerintah untuk memberikan edukasi?”
Saya 100% sepakat! Namun
apa yang bisa kita perbuat setelah pemerintah getol menyediakan program-program
edukasi tetapi rakyatnya sendiri tidak mau (baca: malas) mengikutinya.
Pernah saya menemani
seorang al-akh silaturahim ke balai
RW dekat kontrakan untuk mengurus sesuatu. Pada kesempatan itu Bapak Ketua RW
sedikit menumpahkan keluh-kesahnya kepada kami tentang para pemuda yang sangat
sulit diajak ikut Lokakarya yang disediakan Pemerintah Kota. Lokakarya tersebut
sejatinya disediakan untuk mengajarkan keterampilan dasar kehidupan bagi mereka
yang masih menganggur. Namun apa dinanya, mereka lebih suka menganggur daripada
mengikuti lokakarya yang mengusik ‘istirahat panjang’ mereka.
Maaf, bukan berarti saya
membela pemerintah. Tidak! Sama sekali tidak. Saya Cuma mencoba merenungi
kalimat yang dituliskan Bu Sinta Yudisia
dalam novel Takhta Awan. 'Rakyat yang
baik akan memiliki pemimpin yang baik,’ (pun sebaliknya). Pada intinya,
saya mengajak kita semua untuk melihat dari sudut pandang yang lebih luas;
sudut pandang pemimpin, sudut pandang rakyat, dan sudut pandang hukum.
Khusus untuk hukum, saya
tidak bisa berkomentar lebih karena saat ini Indonesia masih menerapkan hukum
turunan Penjajah Belanda yang sekuler. Kita semua berharap –serta yakin- suatu
saat hukum Islam bisa kembali tegak.
Dengan gambaran di atas,
menurut saya tepatlah marhalah dakwah
yang digagas Hasan Al-Banna; 1. Ishlahun
Nafs (Rakyat), 2. Takwin Baitul
Muslim (Rakyat), 3. Irsyadul Mujtama’
(Rakyat), 4. Tahrirul Wathan
(Pemerintah), 5. Ishlahul Hukumah
(Hukum), 6. Takwinul Khilafah Islamiyah
(Pemerintah dan Hukum), dan 7. Ustadziatul
Alam (Rakyat, Pemerintah, dan Hukum). Dalam marhalah tersebut, ketiga unsur penting dalam negara tersentuh. Ada
tahapan dimana ketika rakyat, pemerintah, dan hukum dibangun. Tentunya dengan
syarat, ketika marhalah naik marhalah sebelumnya tidak boleh
ditinggalkan.
Yang perlu menjadi
perhatian kita sekarang bukan hanya mengganti pemimpinnya, tanpa memperhatikan
aspek rakyat dan hukum. Saya sungguh tertarik dengan apa yang dibawa oleh
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Paradigma gerakan mereka saya
nilai sangat komprehensif dan bisa menyentuh tiga ranah masalah tersebut,
ditambah gerakan untuk membentuk pondasi aqidah yang kuat. Dimulai dari dakwah tauhid sebagai pondasi utama
kontribusi, intelektual profetik
modal utama penyusunan kebijakan berbasis kemaslahatan, sosial independen sarana edukasi publik, dan politik ekstraparlementer evaluator problematika kepemimpinan.
Konsep yang begitu brilliant ini jika nanti terlaksana
seutuhnya pasti memberikan dampak yang LUAR BIASA! Dakwah tauhid sebagai
pondasi keimanan. Hubungan transedental manusia dengan Tuhan Semesta Alam yang
memberikan kekuatan utama dalam menjalani hidup sebagai khalifatullah fil ardh.
Intelektual Profetik mata
kecemerlangan yang menjadi tiang-tiang peradaban. Zikr dan fikr terhadap
ayat-ayat ciptaan Tuhan, qauniyah
maupun qowliyah. Penuntas kebobrokan
hukum dan pencegah kerusakan alam.
Sosial independen sebagai
wujud perhatian kita terhadap masyarakat. Melakukan edukasi, memberikan
pertolongan, mendorong dan mengkondisikan mereka untuk senantiasa aktif, tidak
berpangku tangan dalam menjemput nasib baik, tidak hanya menantinya dalam
kehampaan.
Politik ekstraparlementer
sebagai ruh oposisi abadi kepada pemerintah. Oposisi yang tidak hanya mencaci
dan mencederai, tetapi oposisi yang menjadi pengingat mereka akan murka Ilahi.
Oposisi karena kita peduli. Oposisi karena kita masih mengharapkan kiprah
pemimpin bangsa ini.
Lantas apa yang harus kita
lakukan? Jawaban ini mungkin terasa teoritis, namun saya berharap bisa menjadi guide kita bersama untuk menjalani
kehidupan dengan membawa misi perbaikan bagi peradaban. Pertama, internalisasikan empat nilai tauhid, intelektualitas,
kepedulian, dan kekritisan dalam pribadi sebagai bentuk ishlahun nafs (perbaikan diri). Kedua,
ikuti marhalah dakwah sebagaimana yang dirumuskan oleh Hasan Al-Banna sebagai
panduan arah gerak langkah kita ke depan.
Semoga secuil amal ini
memberikan sumbangsih terhadap perbaikan ummat. Aamiin ya Rabb.
Kedung
Pengkol, 29 Januari 2012 pukul 07.22 WIB
Di sudut ruang tamu Garuda yang sepi..
*)Penulis adalah Kadep Media Jaringan PK KAMMI Airlangga 2011-2012
Di sudut ruang tamu Garuda yang sepi..
*)Penulis adalah Kadep Media Jaringan PK KAMMI Airlangga 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar