Jumat, 03 Februari 2012

Negeri 3 Masalah vs. Dakwah 4 Ranah



Oleh Gading Ekapuja Aurizki*
“Rakyat yang baik akan memiliki pemimpin yang baik. Kaum Muslimin disibukkan menumpuk harta, bermegah-megahan, hingga bagi mereka pun pemimpin yang lalim. Kelak, suatu masa, jika setiap orang kembali kepada Tuhan dan Nabi-Nya dalam berhukum, seorang pemimpin sholeh pasti naik takhta.” (Syaikh Azadi kepada Syaikh Habiburrahman – Takhta Awan h. 361-362)
Ketika membaca novel Takhta Awan sampai bagian ini saya jadi teringat percakapan Ali bin Abi Thalib ra. dengan seorang lelaki ketika beliau masih menjabat sebagai khalifah.

Pada suatu hari lelaki tersebut berkata kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, “Wahai Ali, ketika Abu Bakar dan Umar –radhiyallahu 'anhum- memerintah kondisi Umat Muslim sejahtera, sedangkan pada masamu Umat Muslim penuh problema.” Dengan tenang Ali ra. menjawab, “Itu karena pada masa Abu Bakar dan Umar rakyatnya seperti aku, sedangkan pada masaku rakyatnya seperti kamu.”

Dari sini kita disadarkan bahwa unsur negara itu tidak hanya pemimpin (pemerintah) saja. Tidak akan selesai masalah suatu negara jika yang diungkit hanya ketidakbecusan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Harus ada gerakan yang komprehensif yang tersebar di segala penjuru untuk memperbaiki berbagai unsur yang ada; ekonomi, politik, hukum, pendidikan, sosial, kesehatan, dan lain sebagainya.

Dalam bidang hubungan pemerintah dengan rakyat, setidaknya ada 3 unsur penting yang harus diperhatikan; pemimpin (pemerintah), rakyat, dan hukum (peraturan dan kebijakan). Bukannya menafikkan unsur yang lain, tapi 3 hal tersebut merupakan pondasi utama berlangsung harmoninya internal suatu negara. Jika hubungan antara 3 ranah itu bermasalah, seunggul apapun bidang lainnya negara tetap tidak akan bisa memberikan jaminan masa depan yang cerah bagi rakyatnya.

Oleh karenanya, selain melakukan kritik terhadap pemerintah, kita juga perlu mengevaluasi kondisi masyarakat. Mengapa harus dievaluasi? Karena pada kenyataanya masih banyak rakyat yang enggan mentas dari problem pribadinya. Mereka hanya menunggu keberuntungan turun dari langit. Jika keberuntungan itu tak datang jua, berbusa-busa mereka menghujat pemerintah di warung-warung dan di posko-posko ronda.

Mungkin ada diantara kita yang menyela, “Lho, itu kan tugas pemerintah untuk memberikan edukasi?”

Saya 100% sepakat! Namun apa yang bisa kita perbuat setelah pemerintah getol menyediakan program-program edukasi tetapi rakyatnya sendiri tidak mau (baca: malas) mengikutinya.

Pernah saya menemani seorang al-akh silaturahim ke balai RW dekat kontrakan untuk mengurus sesuatu. Pada kesempatan itu Bapak Ketua RW sedikit menumpahkan keluh-kesahnya kepada kami tentang para pemuda yang sangat sulit diajak ikut Lokakarya yang disediakan Pemerintah Kota. Lokakarya tersebut sejatinya disediakan untuk mengajarkan keterampilan dasar kehidupan bagi mereka yang masih menganggur. Namun apa dinanya, mereka lebih suka menganggur daripada mengikuti lokakarya yang mengusik ‘istirahat panjang’ mereka.

Maaf, bukan berarti saya membela pemerintah. Tidak! Sama sekali tidak. Saya Cuma mencoba merenungi kalimat yang dituliskan Bu Sinta Yudisia dalam novel Takhta Awan. 'Rakyat yang baik akan memiliki pemimpin yang baik,’ (pun sebaliknya). Pada intinya, saya mengajak kita semua untuk melihat dari sudut pandang yang lebih luas; sudut pandang pemimpin, sudut pandang rakyat, dan sudut pandang hukum.

Khusus untuk hukum, saya tidak bisa berkomentar lebih karena saat ini Indonesia masih menerapkan hukum turunan Penjajah Belanda yang sekuler. Kita semua berharap –serta yakin- suatu saat hukum Islam bisa kembali tegak.

Dengan gambaran di atas, menurut saya tepatlah marhalah dakwah yang digagas Hasan Al-Banna; 1. Ishlahun Nafs (Rakyat), 2. Takwin Baitul Muslim (Rakyat), 3. Irsyadul Mujtama’ (Rakyat), 4. Tahrirul Wathan (Pemerintah), 5. Ishlahul Hukumah (Hukum), 6. Takwinul Khilafah Islamiyah (Pemerintah dan Hukum), dan 7. Ustadziatul Alam (Rakyat, Pemerintah, dan Hukum). Dalam marhalah tersebut, ketiga unsur penting dalam negara tersentuh. Ada tahapan dimana ketika rakyat, pemerintah, dan hukum dibangun. Tentunya dengan syarat, ketika marhalah naik marhalah sebelumnya tidak boleh ditinggalkan.

Yang perlu menjadi perhatian kita sekarang bukan hanya mengganti pemimpinnya, tanpa memperhatikan aspek rakyat dan hukum. Saya sungguh tertarik dengan apa yang dibawa oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Paradigma gerakan mereka saya nilai sangat komprehensif dan bisa menyentuh tiga ranah masalah tersebut, ditambah gerakan untuk membentuk pondasi aqidah yang kuat. Dimulai dari dakwah tauhid sebagai pondasi utama kontribusi, intelektual profetik modal utama penyusunan kebijakan berbasis kemaslahatan, sosial independen sarana edukasi publik, dan politik ekstraparlementer evaluator problematika kepemimpinan.

Konsep yang begitu brilliant ini jika nanti terlaksana seutuhnya pasti memberikan dampak yang LUAR BIASA! Dakwah tauhid sebagai pondasi keimanan. Hubungan transedental manusia dengan Tuhan Semesta Alam yang memberikan kekuatan utama dalam menjalani hidup sebagai khalifatullah fil ardh.

Intelektual Profetik mata kecemerlangan yang menjadi tiang-tiang peradaban. Zikr dan fikr terhadap ayat-ayat ciptaan Tuhan, qauniyah maupun qowliyah. Penuntas kebobrokan hukum dan pencegah kerusakan alam.

Sosial independen sebagai wujud perhatian kita terhadap masyarakat. Melakukan edukasi, memberikan pertolongan, mendorong dan mengkondisikan mereka untuk senantiasa aktif, tidak berpangku tangan dalam menjemput nasib baik, tidak hanya menantinya dalam kehampaan.

Politik ekstraparlementer sebagai ruh oposisi abadi kepada pemerintah. Oposisi yang tidak hanya mencaci dan mencederai, tetapi oposisi yang menjadi pengingat mereka akan murka Ilahi. Oposisi karena kita peduli. Oposisi karena kita masih mengharapkan kiprah pemimpin bangsa ini.

Lantas apa yang harus kita lakukan? Jawaban ini mungkin terasa teoritis, namun saya berharap bisa menjadi guide kita bersama untuk menjalani kehidupan dengan membawa misi perbaikan bagi peradaban. Pertama, internalisasikan empat nilai tauhid, intelektualitas, kepedulian, dan kekritisan dalam pribadi sebagai bentuk ishlahun nafs (perbaikan diri). Kedua, ikuti marhalah dakwah sebagaimana yang dirumuskan oleh Hasan Al-Banna sebagai panduan arah gerak langkah kita ke depan.

Semoga secuil amal ini memberikan sumbangsih terhadap perbaikan ummat. Aamiin ya Rabb.

Kedung Pengkol, 29 Januari 2012 pukul 07.22 WIB
Di sudut ruang tamu Garuda yang sepi..



*)Penulis adalah Kadep Media Jaringan PK KAMMI Airlangga 2011-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar